Apa Itu Sanksi OJK Berbasis Risiko untuk Industri Asuransi Indonesia?

Apa Itu Sanksi OJK Berbasis Risiko untuk Industri Asuransi Indonesia?

Artikel
Rate this post

Sektor asuransi Indonesia tengah mengalami transformasi signifikan seiring dengan meningkatnya fokus pemerintah terhadap tata kelola perusahaan yang baik dan pengelolaan risiko yang lebih sistematis. Dalam rangka meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan terhadap pemegang polis, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan kebijakan baru yang menjadi tonggak penting penguatan pengawasan industri asuransi nasional.

Peraturan OJK Nomor 37 Tahun 2024 memperkenalkan pendekatan baru dalam penegakan sanksi administratif yang berbasis pada tingkat risiko dari pelanggaran yang dilakukan. Hal ini merupakan respons terhadap kebutuhan akan sistem yang lebih adil, proporsional, dan mampu mendorong perubahan perilaku di industri. Dengan pendekatan ini, OJK menargetkan peningkatan kepatuhan bukan melalui hukuman semata, tetapi juga melalui edukasi, klasifikasi risiko, dan tata kelola yang lebih baik.

Kebijakan Baru Peraturan OJK Nomor 37 Tahun 2024

Peraturan OJK Nomor 37 Tahun 2024 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Berbasis Risiko di Sektor Perasuransian menjadi salah satu regulasi penting yang menandai pergeseran paradigma pengawasan keuangan di Indonesia. 

Regulasi ini menggantikan pendekatan konvensional yang seragam dengan metode pengenaan sanksi yang disesuaikan berdasarkan tingkat dampak dan risiko dari setiap pelanggaran.

Dalam POJK ini, OJK mengedepankan prinsip keadilan, proporsionalitas, dan efektivitas dalam memberikan sanksi administratif kepada pelaku usaha jasa perasuransian. 

Selain itu, POJK ini juga memberikan pedoman teknis mengenai klasifikasi pelanggaran, mekanisme penilaian risiko, hingga hak jawab perusahaan terhadap sanksi yang dikenakan. Tujuan akhirnya adalah menciptakan sistem pengawasan yang tidak hanya menghukum, tetapi juga membina dan mendorong perbaikan menyeluruh.

Baca juga : Memahami Kebijakan APU, PPT, dan PPPSPM

Sanksi Baru

Dalam kerangka POJK 37/2024, OJK memperkenalkan dua klasifikasi utama sanksi administratif: pelanggaran administratif dan pelanggaran substantif. Pemisahan ini memungkinkan pemberian sanksi yang lebih proporsional berdasarkan seberapa besar dampak pelanggaran terhadap industri, konsumen, dan stabilitas keuangan.

Model klasifikasi ini tidak hanya membantu perusahaan dalam memahami konsekuensi hukum dari pelanggaran, tetapi juga memperkuat mekanisme internal dalam mengelola kepatuhan dan risiko. Dengan demikian, perusahaan tidak sekadar menghindari sanksi, tetapi juga membangun budaya kepatuhan dan manajemen risiko yang berkelanjutan.

  • Pelanggaran Administratif

Pelanggaran administratif adalah bentuk pelanggaran yang bersifat teknis atau procedural, namun tetap mencerminkan lemahnya pengendalian internal dan kepatuhan terhadap regulasi. Contohnya termasuk keterlambatan dalam menyampaikan laporan berkala kepada OJK, tidak mengumumkan informasi material secara tepat waktu, atau ketidaksesuaian pada proses pencatatan administratif.

Walau terdengar ringan, pelanggaran administratif yang dilakukan berulang kali dapat memicu kekhawatiran mengenai sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan. Sanksi yang dapat dikenakan oleh OJK berupa teguran tertulis, denda administratif, pembatasan kegiatan tertentu, hingga penghentian sementara sebagian aktivitas usaha. Hal ini mendorong perusahaan untuk memperbaiki sistem kontrol internal sejak dini, sebelum kesalahan kecil berkembang menjadi risiko besar.

  • Pelanggaran Substantif

Berbeda dari pelanggaran administratif, pelanggaran substantif bersifat lebih serius karena dapat mengganggu kestabilan industri asuransi dan merugikan pihak tertanggung. Jenis pelanggaran ini mencakup penipuan, manipulasi laporan keuangan, pelanggaran terhadap ketentuan investasi dana nasabah, serta penyalahgunaan wewenang oleh manajemen perusahaan.

Sanksi atas pelanggaran substantif dapat sangat berat dan mencakup pembekuan kegiatan usaha, pencopotan pimpinan perusahaan, hingga proses hukum pidana apabila ditemukan unsur kesengajaan. Pendekatan berbasis risiko dalam kasus ini bertujuan untuk menindak tegas pelaku pelanggaran yang membahayakan kepercayaan publik dan stabilitas sistem keuangan, sekaligus memberikan efek jera yang kuat kepada industri.

Implementasi bagi Perusahaan

Penerapan POJK 37/2024 mengharuskan perusahaan asuransi untuk melakukan perubahan menyeluruh terhadap sistem kepatuhan dan manajemen risiko yang mereka miliki. 

Tidak cukup hanya memahami isi regulasi, perusahaan harus mampu menerjemahkan kebijakan ini ke dalam sistem, struktur, dan budaya organisasi.

Langkah konkret yang perlu diambil meliputi penyusunan ulang kebijakan internal, penguatan fungsi pengawasan internal, peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan rutin, dan pembaruan sistem informasi manajemen. 

Selain itu, perlu ada komunikasi yang jelas antara jajaran manajemen dan karyawan agar setiap pihak memahami risiko pelanggaran dan konsekuensinya. Adaptasi cepat terhadap perubahan regulasi ini akan menentukan sejauh mana perusahaan mampu bertahan dan berkembang di tengah persaingan industri yang semakin ketat.

Baca juga : Memahami ICOFR: Tujuan, Tantangan Implementasi dan Instrumennya

Integrasi ISO 31000 dengan ISO 9001 

Seiring dengan semakin kompleksnya tantangan regulasi dan operasional, perusahaan dituntut untuk memiliki sistem manajemen risiko yang terintegrasi dengan sistem mutu. 

ISO 31000, sebagai standar internasional untuk manajemen risiko, dapat memberikan kerangka kerja yang kuat dalam mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menangani risiko secara proaktif.

Di sisi lain, ISO 9001 yang berfokus pada sistem manajemen mutu, memberikan pendekatan sistematis dalam peningkatan kualitas dan efisiensi operasional. Integrasi keduanya menghasilkan sinergi antara pengelolaan risiko dan peningkatan mutu, sehingga perusahaan mampu menjawab tantangan regulasi sekaligus meningkatkan daya saing. 

Baca juga : 10 Cara Mengukur dan Mengelola Risiko dengan ISO 31000 dalam Bisnis Anda

Training Integrasi ISO 31000 dengan ISO 9001 dari GRC Indonesia

Mengintegrasikan kerangka manajemen risiko ISO 31000 ke dalam sistem manajemen mutu ISO 9001 adalah langkah progresif yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi dalam menjaga kualitas, kepatuhan, dan keberlanjutan operasional.

GRC Indonesia menghadirkan Pelatihan Integrasi ISO 31000 dengan ISO 9001, sebuah program pelatihan strategis yang dirancang untuk membantu organisasi memahami dan menerapkan integrasi dua standar internasional tersebut secara efektif, menyeluruh, dan berbasis risiko.

Apa yang Akan Dipelajari Peserta?

Pelatihan ini bertujuan untuk membekali peserta dengan pemahaman mendalam tentang bagaimana pendekatan manajemen risiko dapat dimasukkan ke dalam kerangka kerja ISO 9001, termasuk:

  • Prinsip dan struktur ISO 31000 serta relevansinya terhadap sistem manajemen mutu
  • Identifikasi dan penilaian risiko yang berdampak pada pencapaian sasaran mutu
  • Langkah-langkah mitigasi risiko dalam konteks manajemen proses dan kepatuhan ISO 9001
  • Penerapan risk-based thinking (pendekatan berbasis risiko) dalam seluruh siklus Plan-Do-Check-Act (PDCA)
  • Strategi pemetaan risiko dan pengendaliannya di setiap titik kontrol mutu
  • Studi kasus integrasi di perusahaan nasional dan multinasional

Segera bergabung dalam pelatihan ini dan bangun sinergi sistem mutu dan manajemen risiko di organisasi Anda. Informasi lengkap dan jadwal pelatihan dapat diakses dengan [klik di sini] .

Open chat
Hubungi kami